PENDIDIKAN
MENURUT TEORI KONFLIK
Teori
konflik (conflik theory) melihat tujuan pendidikan sebagai upaya menjaga
kesenjangan sosial dan melestarikan kekuasaan orang-orang yang mendominasi
masyarakat. Teori konflik untuk beberapa aspek melihat fungsi pendidikan sama
dengan alur dianut oleh fungsionalis. Fungsionalis melihat pendidikan sebagai
kontribusi yang menguntungkan masyarakat yang teratur, namun teori konflik
melihat sistem pendidikan sebagai mengekalkan status quo dengan cara
menumpulkan kelas bawah menjadi pekerja yang patuh.
Menurut
teori konflik, sekolah memposisikan anak dari kelas pekerja menerima posisi
mereka sebagai “kelas yang lebih rendah” dari anggota masyarakat. Teori konflik
menyebut peran pendidikan dengan “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum).
Teori
konflik menunjuk pada beberapa faktor kunci dalam mempertahankan posisi siswa.
Pertama, pajak property digunakan untuk mendanai sebagian besar sekolah. Karena
itu, sekolah-sekolah di daerah yang kaya (misalnya, kabupaten) memiliki lebih
banyak uang, daerah seperti ini umumnya dihuni oleh kulit putih atau berwarna.
Mereka mampu membayar gaji yang lebih tinggi, menarik guru yang lebih baik, dan
membeli buku-buku teks yang lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan
teknologi. Siswa yang bersekolah di sekolah tersebut kemudian mendapatkan
keuntungan besar dalam mengakses perguruan tinggi terbaik dan berpeluang
memasuki profesi dengan bayaran yang lebih tinggi. Mahasiswa yang berasal dari
daerah kurang makmur tidak dapat menikmati keuntungan ini dan lebih kecil
kemungkinannnya mengakses kuliah pada perguruan tinggi yang terbaik.
Mereka ini umumnya memasuki pendidikan kejuruan
atau pelatihan teknis, dan umumnya berasal dari kelompok minoritas.
Teori konflik melihat pendidikan bukan sebagai
kebutuhan social atau kesempatan, melainkan sebagai sarana ampuh untuk mempertahankan
struktur kekuasaan dan menciptakan
tenaga kerja yang patuh bagi kaum kapitalis yang mendewakan kapitalisme.
Para
penganut teori konflik diantaranya:
Bowles, Gintis, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan
Illich. Berikut pokok-pokok pemikiran mereka:
1.
Paulo Freire
Arah
politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the
oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter,
tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas
karena warna kulit, gender, ras, dan sebagainya.
2.
Bowles & Gintis
Samuel
Bowles dan Herbert Gintis (1976) adalah cara para ekonom politik di Amerika
Serikat yang menganalisis tujuan persekolahan dalam masyarakat Amerika. Mereka
berdua menulis buku berjudul Schooling in capitalist America. Teori Bowles dan
Gintis mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi,
berlaku baik bagi masyarakat Barat yang liberal maupun pada masyarakat blok
Timur yang sosialistis. Meskipun demikian, analisis Gintis selanjutnya
dialamatkan kepada sistem pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat. Prinsip
pendidikan sebagai sarana untuk mengekalkan dominasi biasa disebut juga
“reproduksi langsung” atau direct reproduction, yang dalam arti khusus berarti
usaha melanjutkan dan mengekalkan sistem kemasyarakatan yang kapitalistis.
3.
Louis Althuser
Analisis
Althuser sejalan dengan analisis Bowles dan Gintis, yaitu bahwa pendidikan
bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan produksi kapitalis
berupa hubungan eksploitasi. Bedanya adalah bahwa Althuser memandang pendidikan
sebagai perlengkapan Negara pada masyarakat kapitalis. Pada teori konflik yang
tradisional terdapat apa yang dinamakan sistem ekonomi sebagai struktur dasar
(infrastruktur) dan sistem-sistem kehidupan lain seperti politik, hukum,
pendidikan, kebudayaan, pemerintahan Negara sebagai superstruktur
(suprastruktur).
4.
Pierre Bourdieu
Bourdieu mengembangkan konsep pertimbangan
budaya (cultural arbitraries) setiap masyarakat mempunyai pertimbangan budaya
sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kemampuan logika.
5.
Ivan Illich
Ivan
Illich memiliki gambaran yang lebih ekstrim dalam karyanya Deschooling Society
(1982) atau “Bebas dan Sekolah”. Dikatakan oleh Illich bahwa sekolah adalah
tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak
mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung
dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang
disukainya. Selanjutnya Illich menyarankan agar sistem persekolahan dibubarkan
saja karena tidak efektif
DAFTAR
PUSTAKA
Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik. Bandung : CV. Yasindo Multi Aspek
http://iya87.wordpress.com/2012/10/02/bab-4-teori-pendidikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar