SATU
“Apakah ayah marah
padaku? ” bisik Nita dalam hati. Sambil memasak, sesekali dia melirik punggung ayahnya
yang sedang duduk di meja makan. Ketika hendak mengangkat panci, tak sengaja
tangannya menyentuh badan panci yang masih panas.
“Auuww,” spontan
Nita berteriak.
Ayahnya tetap
diam. Tak ada respon.
“Apakah ayah
ketiduran di meja makan? Atau dia benar-benar marah sehingga tak lagi peduli
padaku? Kenapa dia tidak mendengar teriakkanku?” kembali Nita bertanya pada
dirinya sendiri.
Nita mematikan
kompor yang masih menyala. Menuangkan sayur di panci ke mangkuk besar. Lalu dia membawa mangkuk itu ke meja makan.
Nita dan ayahnya
duduk berhadap-hadapan. Nita semakin resah dengan perilaku ayahnya. Mata ayahnya
nampak sayu dan merah. Dia menatap jari tangan ayahnya yang terus mengetuk
meja.
“Ayah, ayo makan!”
Ayahnya tetap
diam. Tak memberi respon sedikitpun. Entah apa yang dia pikirkan. Matanya
terarah pada Nita, namun seakan dia tidak melihat Nita di depannya. Jarinya tak
berhenti mengetuk-ngetuk meja.
“Ayah, ayo makan!”
Nita memperkeras suaranya, berharap ayah merespon ajakannya.
Jari ayah berhenti
mengetuk. Dia menyendok nasi dan sayur
yang sudah Nita siapkan di piringnya. Tanpa bicara sepatahkatapun, dia memakan makanannya.
Nita tak langsung
memakan makanannya. Dia menatap ayahnya lama. Berbagai pertanyaan bergejolak di
hatinya. Nita sedikit membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi, dia
menggelengkan kepala, kemudian menutup kembali mulutnya. Dia kembali melihat
ayahnya yang makan dalam diam. Telapak tangannya berkeringat. Kakinya gemetar.
Tidak terasa air mata keluar dari sudut matanya. Dia menundukan kepala, berharap
ayah tidak melihat tangisannya. Tapi, gejolak hati yang semakin kacau membuat
dia tak mampu menahan tangisnya.
Melihat anaknya
yang menangis, Tuan Sardi seakan tersadar. Dia berhenti memakan makanannya.
Menghampiri anaknya. Lalu, mengelus lembut kepala anaknya.
“Nita...” Ucap
Tuan Sardi pelan.
Nita masih menunduk.
Dia merasa takut. Takut ayahnya pergi. Takut ayahnya marah. Takut kehilangan
rasa cinta dari sang ayah. Dia takut, dan rasa takut itu menyebabkan dia semakin
menundukkan kepalanya.
Sambil terus
mengelus kepala putrinya, Tuan Sardi berkata,” kamu harus menjadi orang yang
kuat. Ayah sangat menyayangimu melebihi diri ayah sendiri. Apapun akan ayah
lakukan untukmu. Ayah ingin selalu menjagamu. “
Nita mengangkat
kepalanya, “ayah tidak marah padaku?"
Tuan Sardi tertawa
mendengar pertanyaan putrinya. Tawa yang berat. Dia berusaha menutupi
perasaanya sendiri. “Kenapa ayah harus marah?”
“Aku telah
bersalah. Aku telah...” Nita tak melanjutkan kata-katanya.
Tuan Sardi menatap
mata putrinya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Setelah memejamkan mata
beberapa detik, dia berkata,”ayah tidak marah. Sebenarnya semua itu salah ayah.
Andai saja ayah berkata jujur. Andai saja ayah tidak menutup-nutupi kebenaran.
Mungkin kekacauan ini tidak akan terjadi. Seharusnya, sejak awal ayah
memberitahukan siapa ayah sebenarnya. Memberitahukan penyebab ibumu harus
meninggalkan ayah. Memberitahukan kenapa kita harus hidup berpindah-pindah
sehingga kau tidak mempunyai teman. Seharusnya ayah mengatakan semuanya.
Tetapi, ayah malah menutupi kebenaran darimu. Ternyata kebohongan yang ayah
lakukan hanya menambah penderitaanmu. Maafkan ayah.”
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar