Minggu, 22 Maret 2015

Lupa

LUPA
Oleh: Nuni Wahyuni

Kamu tidur terlentang dengan mata terbuka. Memandang lurus ke arah atap. Sesekali, dahimu mengkerut. Aku sangat tahu keinginanmu. Kamu pasti sedang berharap, matamu yang bening itu, mampu menembus atap dan leluasa menjelajahi langit luas.
Bau obat-obatan menyeruak. Menusuk hidung. Menembus paru-paru, hingga dadaku terasa sesak. Aku duduk di samping ranjangmu. Menatapmu, dengan rasa takut yang membuncah di hatiku. Sampai sekarang dokter belum datang. Membuat aku mulai merasa tak tenang. Deretan peralatan rumah sakit menumpuk di dekat ujung ranjangmu. Membantumu untuk bertahan.

Saat ini, usiamu menginjak 65. Seandainya kamu ingat, telah tujuh tahun berlalu  sejak kamu mulai menjadi pelupa. Aku mendampingimu dengan harapan kamu tak lupa denganku. Awalnya, aku tak mengerti. Tiba-tiba kamu bertingkah tak biasa. Kadang kamu menjadi pemarah. Bersikap layaknya tokoh antagonis dalam sebuah cerita. Kadang kamu kembali menjadi dirimu sendiri. Bersikap layaknya istri yang pantas dicintai. Bahasamu pun mulai berbeda. Tidak dirangkai dengan kata yang indah. Sulit untuk dicerna. Bahkan, beberapa kali kamu mengucapkan sumpah serapah.
Suatu hari kamu ingin jalan-jalan pagi sendiri. Hingga dzuhur tiba, kamu tidak kembali. Aku mengkhawatirkanmu, berusaha mencari kesana-kesini. Dua anak kita aku datangi. Saudara juga aku hubungi. Tetangga pun berusaha ikut mencari. Bahkan aku menelepon polisi. Tapi tiba-tiba kamu datang. Diantar oleh tetangga kita yang sedang berdagang di pasar. Dia melihatmu yang cemas dan kebingungan. Kemudian, dia mengantarmu pulang. Saat kau datang, aku begitu bahagia. Tapi kamu berkata “ini bukan rumah saya”. Aku meyakinkan bahwa ini rumahmu. Rumah tempat kita saling melepas rindu. Tapi, justru kamu menangis didepanku. Kamu berkeras ingin diantar pulang. Saat aku membujuk dan berusaha menenangkan, tangismu semakin keras dan membuatmu menjadi lemas. Aku mendiamkanmu, hingga kamu tidur di depan pintu. Sebagian menyangka kamu sudah gila. Tapi, tidak denganku. Aku tahu karena aku sangat mengenalmu. Kamu tidak gila. Kamu hanya menjadi pelupa.
Bersama Maya, anak kita yang sulung. Aku dan dia membawamu ke sebuah rumah sakit, karena lupamu itu semakin menjadi. Mulai dari nama benda, nama teman, hingga nama saudara kamu mulai melupakannya. Tapi, terkadang kamu mengingatnya dengan tiba-tiba. Aku terus merasa khawatir, terlebih lagi, kamu sering mengeluh, merasa sakit di sana-sini.
Setelah kamu selesai diperiksa, CT scan, MRI, dan lainnya, Maya di panggil ke ruang dokter. Aku berkeras ingin ikut bersamanya. Meski takut, aku tetap harus mendengarnya. Mendengar penyakit apa yang menggerogotimu. Dokter berkata, “Ini Demensia Alzheimer”. Aku sudah menduganya. Nama penyakit ini tidak asing bagiku. Seandainya kamu tak menjadi pelupa, nama penyakit itu juga tak akan asing bagimu. Sebab, puluhan tahun lalu, aku merawat ayahku, sedangkan kamu merawat ibumu yang didiagnosis penyakit sama. Aku bertemu denganmu melalui penyakit ini. Kamu berbagi denganku melalui penyakit ini. Aku dan kamu, kita, saling mencintai melalui penyakit ini. Jadi, mungkin sebenarnya kita harus berterimakasih pada penyakit ini.
Aku dan kamu (jika kamu tak lupa), sama-sama pernah mendengar bahwa penyakit ini berawal dari protein yang menggila, lalu menguasai pembuluh darah di otak. Kemudian sel-sel otak digerogoti hingga mati. Kematian sel-sel otak itu telah membuat orangtua kita pergi. Namun, dengan cara yang aneh justru mengikatkan kita pada janji suci.
Istriku, kita telah sama-sama tahu bahwa penyakit ini belum memiliki obat. Jika pun ada, obat-obat itu hanya mengurangi penyakitmu, seperti kamu sedang menggunting ujung-ujung kukumu. Kamu potong sedikit. Lalu tumbuh lagi. Kamu potong sedikit. Lalu tumbuh lagi. Itulah obat yang kamu minum. Ketika aku melihat kamu meminum obat, aku telah bersiap dengan apa yang akan aku lihat beberapa waktu berikutnya. Kamu mulai merasa mual. Lalu, muntah bahkan kesakitan.
Sayang, aku tahu ini menyakitkan untukmu. Tapi, aku tak mau kamu menjadi semakin pelupa. Apalagi banyak orang berkata bahwa lupamu itu bukan lupa biasa. Lupa itu akan menyerang dengan ganas hingga membuatmu lupa untuk bernafas. Aku ingin menggantikanmu meminum obat seperti dulu aku ingin menggantikan ayahku melakukannya. Tapi, dokter tidak pernah mengizinkan aku untuk menggantikanmu. Dokter selalu berkata, “Ini demi kebaikannya. Efek samping itu pasti ada”.
Orang-orang bilang, penyakit ini akan menggerogoti otakmu. Hingga, mungkin akan sulit bagimu untuk mampu bertahan dalam waktu lama. Aku tidak pernah percaya dengan apa yang mereka katakan. Bagiku, omongan itu hanyalah kata dari mereka yang lupa akan kuasa Tuhan. Meski, ayahku hanya mampu bertahan selama lima tahun setelah dia menjadi pelupa. Atau ibumu hanya bertahan dua tahun setelah aku berkenalan dengannya. Aku yakin, kamu pasti jauh lebih kuat dari mereka.
Hei! Lihat! Semua terbukti. Kamu memang lebih kuat dari ayahku, ibumu atau bahkan semua manusia di dunia. Kamu telah bertahan, terhitung tujuh tahun sejak kamu melupakan berbagai hal yang biasa kamu lakukan. Tidak! Kamu tidak hanya bertahan sampai saat ini. Kamu akan bertahan tujuh tahun lagi. Lalu, tujuh tahun lagi. Lalu, tujuh tahun lagi.
Istriku, mungkin saat ini kamu memang benar-benar sedang lupa. Lupa dimana kamu menaruh kunci. Lupa cara menyikat gigi. Lupa dengan teman-temanmu. Lupa dengan saudaramu. Lupa dengan anak-anakmu. Lupa dengan namaku. Lupa dengan namamu. Lupa cara berjalan. Lupa cara menggerakkan tangan. Lupa cara tersenyum. Bahkan, kamu lupa dengan lupa itu sendiri. Tapi, meski orang-orang menganggap harapanku ini mustahil, aku tetap yakin bahwa suatu saat kamu akan sembuh. Diawali dengan senyumanmu. Lalu, gerakkan tanganmu. Berjalan. Kemudian, kamu akan ingat semuanya. Aku yakin istriku. Aku yakin kamu akan ingat dan meninggalkan lupa itu.
Ingatanku kembali pada waktu tiga tahun lalu. Ketika kamu belum lupa cara bergerak seperti saat ini. Maya, datang ke rumah bersama anaknya. Dia menangis karenamu. Seperti ingin mendapat perhatian darinya, kamu berceloteh tentang berbagai hal yang sebenarnya tidak masuk akal. Awalnya, Maya mendengarkan. Tapi, kemudian dia merasa bosan. Dia meninggalkanmu begitu saja. Lalu kamu menangis. Aku ingat, saat itu aku langsung memarahinya.
Sayang, mungkin bukan kamu yang pelupa. Tapi Maya. Dia telah lupa dengan kesabaranmu dalam menjawab setiap pertanyaannya. Dia telah lupa dengan kesabaranmu yang selalu mendengarkan ceritanya. Dia lupa bahwa dulu dia selalu bercerita tentang batu terbang, rumah permen, ataupun tikus yang memakai mahkota. Dia telah lupa. Lupa dengan kesabaran yang selalu kau ajarkan. Lupa dengan kasihmu yang tak pernah pamrih.
Begitupula dengan Reza. Anak kedua kita. Dialah yang paling pelupa diantara orang yang lupa. Setelah dia tinggal dirumahnya yang baru. Bersama istri dan bayinya yang mungil itu. Dia lupa jalan menuju rumah kita. Terakhir kali dia datang ke rumah pada tahun lalu setelah tiba-tiba kamu memukulnya. Dia benar-benar lupa bahwa dulu dialah yang selalu memukul. Memukul maket yang aku buat. Memukul piring hingga tangannya berdarah. Bahkan, memukul tanganmu hingga berwarna ungu. Dia telah lupa bahwa dialah si pemukul itu. Setelah kamu memukulnya sekali, dia langsung pergi, dan enggan untuk datang lagi.
Sayang, kamu terlihat cantik saat kamu tidur. Kamu juga cantik saat bangun. Bahkan, saat kamu menjadi pemarah sekalipun, kecantikkan itu tak pernah melupakanmu. Seandainya kaki dan tanganmu masih bisa bergerak, mungkin aku masih bisa mendengarkan denting piano yang berbunyi merdu berkat sentuhan jarimu.
Aduhai! Aku benar-benar merindukan suara itu. Suara piano yang membuatmu semakin terlihat cantik. Ketika kamu mendengar suaranya dari sentuhan jarimu, kamu tidak pernah lupa pada senyumanmu. Senyuman yang tampak tulus berasal dari hatimu.
Sayang, menurut orang-orang, kamu adalah keajaiban. Betapa rugi mereka karena baru menyadarinya sekarang. Setelah kamu menjadi pelupa, aku membawamu ke sekolah musik. Kenapa? Karena sejak kamu berjalan beriringan dengan lupa itu, kamu selalu mencemaskan sesuatu. Kamu selalu duduk di depan televisi dengan murung. Hingga, aku menangkap gurat senyum di wajahmu ketika televisi menayangkan permainan piano dari seorang maestro muda yang luar biasa.
Aku membawamu ke sekolah musik. Senyumanmu semakin mengembang ketika kamu menyentuhkan jari-jarimu yang jenjang pada tuts piano yang berjajar. Betapa ajaibnya, satu tahun setelah itu, kamu benar-benar mahir bermain piano. Sampai kamu merengek padaku ingin membawa piano itu ke kamarmu.
Sayang, aku tak pernah kuasa untuk menolak permintaanmu. Disaat orang lain begitu tersakiti dengan sel otak yang perlahan mati, justru kamu bangkit dan mahir menggerakkan jari. Memang sulit dimengerti. Tapi, itulah yang terjadi. Beberapa tahun kamu berhasil membuat orang lain berdecak kagum dengan rangkaian nada merdu dari jarimu.
Aku, anak kita, bahkan dokter sekalipun begitu terkejut dengan kehebatan jarimu. Meski aku sudah berkawan dengan kehebatanmu sejak aku memulai hidup denganmu, tapi kehebatanmu kali ini benar-benar di luar batas pikirku. Walaupun seringkali kamu lupa dengan berbagai hal yang ada disekitarmu, tapi kamu tidak pernah membiarkan jari-jarimu lupa pada rangkaian nada dari tuts piano yang menghasilkan dentingan merdu.
Seringkali, aku harus membuat berbagai catatan di dinding, poto, ruang tidur, ruang makan, hingga kamar mandi agar kamu tak terlalu kesulitan karena lupa pada beberapa hal. Tapi, aku tak perlu untuk membuat catatan pada pianomu. Aku rasa, piano itu sudah menyatu dengan jiwamu.
Sayang, tahukah kamu? Aku sempat merasa iri pada piano itu. Seandainya aku adalah dia. Aku adalah hal yang bisa membuatmu tersenyum. Aku adalah hal yang mampu membuatmu merasa senang. Aku adalah hal yang tidak bisa kamu lupakan. Aku akan merasa lebih barharga. Berharga sebagai suamimu. Berharga karena kamu terus mengingatku.
Di tengah rasa iriku yang mulai menggebu, aku menemukan catatan yang pernah kau buat puluhan tahun lalu. Catatan yang memperlihatkan kehebatan dan ketulusan hatimu. Di catatan itu, aku menemukan alasan. Alasan mengapa jarimu bisa bergerak menakjubkan. Kamu mampu memainkan piano dengan wajah yang begitu riang meski kamu sering merasa kesakitan. Ternyata semua itu karena cintamu. Kamu tahu bahwa ayahku adalah pemain piano yang hebat. Aku selalu merindukan nada-nada yang datang dari sentuhan jarinya. Tapi, aku harus menelan rasa kecewa setelah dia menjadi pelupa. 
Sayangku, kamu benar-benar layak dicintai. Rasa sakitmu bukanlah batas. Kematian sel otak tidak dapat membunuh hatimu dengan telak. Perubahan mental padamu tak pernah bisa membuatku kesal. Kau adalah istri terhebatku, ibu yang kuat bagi anak-anakmu, dan keajaiban bagi para dokter yang mengobatimu.
Hari-hari terus berlalu. Diiringi keajaiban diantara sakitmu. Dokter merasa takjub sekaligus khawatir dengan kondisimu. Aku meyakinkan diri bahwa kekhawatiran dokter terlalu berlebihan.  Hingga kamu tiba-tiba ambruk dan tak mampu menggerakkan badan. Termasuk jarimu yang ajaib itu. Bahkan senyumanmu mulai kamu lupakan. Sekarang kamu terbaring di atas ranjang. Ditemani olehku dan berbagai alat kesehatan.
Seorang wanita dan seorang pria datang dengan tiba-tiba. Betapa senangnya karena aku melihat bibirmu mengulas senyum tipis saat melihat mereka. Aku tak mengenali dua orang ini. Siapa mereka? Apakah mereka saudara yang tak pernah aku tahu wajahnya? Atau mereka adalah relawan yang memang sering datang untuk membagikan berbagai bantuan? Aku benar-benar tidak tahu. Tapi, yang aku tahu ada gurat kekhawatiran pada wajah mereka berdua.
Kedua orang itu menghampiriku. Aku tak tahu apa yang mereka inginkan. Mereka berdua mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Siapa Kalian?” Tanyaku pada mereka.
Dua orang itu hanya berjalan semakin mendekat tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa kesal karena telah diabaikan.
“Siapa kalian?” Nadaku mulai meninggi.
Perempuan asing itu berhenti melangkah. Dia hanya menangis, entah karena apa. Sedangkan si lelaki melangkah semakin mendekat. Setelah dia berdiri tepat di sampingku, dia memegang tanganku dan dengan lembut berusaha membuatku bangkit dari tempat duduk.
“Kalian siapa?” Nadaku semakin meninggi.
Pria yang berusaha membuatku berdiri menjawab, “Ayah, ini aku Reza. Aku anakmu. Aku dan kak Maya sudah mencarimu kemana-mana. Kenapa ayah duduk di sini? Ayo kita pulang! Sebentar lagi akan hujan.”
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan. Mereka mengatakan bahwa mereka anakku. Padahal, aku tak pernah sekalipun melihat wajah keduanya. Betapa beraninya mereka berbohong. Reza dan Maya sudah lupa padaku. Begitupula pada istriku. Pasti mereka orang yang dibayar oleh kedua anakku untuk mengurusku dan istriku. Aku tidak mau. Jika mereka memang benar anak yang baik, setidaknya mereka harus datang ke sini. Mereka harus datang ke rumah sakit.
“Kalian bohong. Katakan pada Maya dan Reza, jika memang benar mereka anakku, datang ke sini! Jenguk ibu di rumah sakit. Jangan menggantikannya dengan orang lain”.
Si wanita semakin menangis. Sedang si pria tetap berkaca-kaca. Dia kembali berusaha membuatku berdiri. Dengan sedikit memaksa, dia berhasil membuatku berdiri dan bersandar di pundaknya.
“Ayah, ibu sudah meninggal satu bulan yang lalu. Lihat! Ini makam ibu”. Si pria menunjuk ranjang di sampingku.
“Siapa bilang istriku meninggal? Lihat! dia sedang tidur di atas ranjang,” kataku sambil menunjuk ke arah istriku yang tidur terlentang.
“Ayah, ibu sudah tiada,” Wanita yang juga memanggilku ayah meyakinkan.
Benarkah? Bukankah ini ranjang? Apakah mereka berdua tidak bisa melihat? Mengapa mereka menyebut ranjang ini makam? Mungkin mereka berdua orang gila. Atau, apakah aku yang menjadi pelupa?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar