LUPA
Oleh: Nuni Wahyuni
Oleh: Nuni Wahyuni
Kamu tidur terlentang dengan mata
terbuka. Memandang lurus ke arah atap. Sesekali, dahimu mengkerut. Aku sangat
tahu keinginanmu. Kamu pasti sedang berharap, matamu yang bening itu, mampu
menembus atap dan leluasa menjelajahi langit luas.
Bau obat-obatan menyeruak. Menusuk
hidung. Menembus paru-paru, hingga dadaku terasa sesak. Aku duduk di samping
ranjangmu. Menatapmu, dengan rasa takut yang membuncah di hatiku. Sampai
sekarang dokter belum datang. Membuat aku mulai merasa tak tenang. Deretan
peralatan rumah sakit menumpuk di dekat ujung ranjangmu. Membantumu untuk
bertahan.
Saat ini, usiamu menginjak 65. Seandainya
kamu ingat, telah tujuh tahun berlalu
sejak kamu mulai menjadi pelupa. Aku mendampingimu dengan harapan kamu tak
lupa denganku. Awalnya, aku tak mengerti. Tiba-tiba kamu bertingkah tak biasa.
Kadang kamu menjadi pemarah. Bersikap layaknya tokoh antagonis dalam sebuah
cerita. Kadang kamu kembali menjadi dirimu sendiri. Bersikap layaknya istri
yang pantas dicintai. Bahasamu pun mulai berbeda. Tidak dirangkai dengan kata
yang indah. Sulit untuk dicerna. Bahkan, beberapa kali kamu mengucapkan sumpah
serapah.
Suatu hari kamu ingin jalan-jalan pagi
sendiri. Hingga dzuhur tiba, kamu tidak kembali. Aku mengkhawatirkanmu,
berusaha mencari kesana-kesini. Dua anak kita aku datangi. Saudara juga aku hubungi.
Tetangga pun berusaha ikut mencari. Bahkan aku menelepon polisi. Tapi tiba-tiba
kamu datang. Diantar oleh tetangga kita yang sedang berdagang di pasar. Dia
melihatmu yang cemas dan kebingungan. Kemudian, dia mengantarmu pulang. Saat
kau datang, aku begitu bahagia. Tapi kamu berkata “ini bukan rumah saya”. Aku
meyakinkan bahwa ini rumahmu. Rumah tempat kita saling melepas rindu. Tapi,
justru kamu menangis didepanku. Kamu berkeras ingin diantar pulang. Saat aku
membujuk dan berusaha menenangkan, tangismu semakin keras dan membuatmu menjadi
lemas. Aku mendiamkanmu, hingga kamu tidur di depan pintu. Sebagian menyangka
kamu sudah gila. Tapi, tidak denganku. Aku tahu karena aku sangat mengenalmu.
Kamu tidak gila. Kamu hanya menjadi pelupa.
Bersama Maya, anak kita yang sulung. Aku
dan dia membawamu ke sebuah rumah sakit, karena lupamu itu semakin menjadi.
Mulai dari nama benda, nama teman, hingga nama saudara kamu mulai melupakannya.
Tapi, terkadang kamu mengingatnya dengan tiba-tiba. Aku terus merasa khawatir,
terlebih lagi, kamu sering mengeluh, merasa sakit di sana-sini.
Setelah kamu selesai diperiksa, CT scan,
MRI, dan lainnya, Maya di panggil ke ruang dokter. Aku berkeras ingin ikut
bersamanya. Meski takut, aku tetap harus mendengarnya. Mendengar penyakit apa
yang menggerogotimu. Dokter berkata, “Ini Demensia Alzheimer”. Aku sudah
menduganya. Nama penyakit ini tidak asing bagiku. Seandainya kamu tak menjadi
pelupa, nama penyakit itu juga tak akan asing bagimu. Sebab, puluhan tahun lalu,
aku merawat ayahku, sedangkan kamu merawat ibumu yang didiagnosis penyakit sama.
Aku bertemu denganmu melalui penyakit ini. Kamu berbagi denganku melalui
penyakit ini. Aku dan kamu, kita, saling mencintai melalui penyakit ini. Jadi,
mungkin sebenarnya kita harus berterimakasih pada penyakit ini.
Aku dan kamu (jika kamu tak lupa),
sama-sama pernah mendengar bahwa penyakit ini berawal dari protein yang menggila,
lalu menguasai pembuluh darah di otak. Kemudian sel-sel otak digerogoti hingga
mati. Kematian sel-sel otak itu telah membuat orangtua kita pergi. Namun,
dengan cara yang aneh justru mengikatkan kita pada janji suci.
Istriku, kita telah sama-sama tahu bahwa
penyakit ini belum memiliki obat. Jika pun ada, obat-obat itu hanya mengurangi
penyakitmu, seperti kamu sedang menggunting ujung-ujung kukumu. Kamu potong
sedikit. Lalu tumbuh lagi. Kamu potong sedikit. Lalu tumbuh lagi. Itulah obat
yang kamu minum. Ketika aku melihat kamu meminum obat, aku telah bersiap dengan
apa yang akan aku lihat beberapa waktu berikutnya. Kamu mulai merasa mual.
Lalu, muntah bahkan kesakitan.
Sayang, aku tahu ini menyakitkan untukmu.
Tapi, aku tak mau kamu menjadi semakin pelupa. Apalagi banyak orang berkata
bahwa lupamu itu bukan lupa biasa. Lupa itu akan menyerang dengan ganas hingga
membuatmu lupa untuk bernafas. Aku ingin menggantikanmu meminum obat seperti
dulu aku ingin menggantikan ayahku melakukannya. Tapi, dokter tidak pernah mengizinkan
aku untuk menggantikanmu. Dokter selalu berkata, “Ini demi kebaikannya. Efek
samping itu pasti ada”.
Orang-orang bilang, penyakit ini akan
menggerogoti otakmu. Hingga, mungkin akan sulit bagimu untuk mampu bertahan
dalam waktu lama. Aku tidak pernah percaya dengan apa yang mereka katakan.
Bagiku, omongan itu hanyalah kata dari mereka yang lupa akan kuasa Tuhan.
Meski, ayahku hanya mampu bertahan selama lima tahun setelah dia menjadi
pelupa. Atau ibumu hanya bertahan dua tahun setelah aku berkenalan dengannya. Aku
yakin, kamu pasti jauh lebih kuat dari mereka.
Hei! Lihat! Semua terbukti. Kamu memang
lebih kuat dari ayahku, ibumu atau bahkan semua manusia di dunia. Kamu telah
bertahan, terhitung tujuh tahun sejak kamu melupakan berbagai hal yang biasa
kamu lakukan. Tidak! Kamu tidak hanya bertahan sampai saat ini. Kamu akan
bertahan tujuh tahun lagi. Lalu, tujuh tahun lagi. Lalu, tujuh tahun lagi.
Istriku, mungkin saat ini kamu memang
benar-benar sedang lupa. Lupa dimana kamu menaruh kunci. Lupa cara menyikat
gigi. Lupa dengan teman-temanmu. Lupa dengan saudaramu. Lupa dengan
anak-anakmu. Lupa dengan namaku. Lupa dengan namamu. Lupa cara berjalan. Lupa cara
menggerakkan tangan. Lupa cara tersenyum. Bahkan, kamu lupa dengan lupa itu
sendiri. Tapi, meski orang-orang menganggap harapanku ini mustahil, aku tetap
yakin bahwa suatu saat kamu akan sembuh. Diawali dengan senyumanmu. Lalu, gerakkan
tanganmu. Berjalan. Kemudian, kamu akan ingat semuanya. Aku yakin istriku. Aku
yakin kamu akan ingat dan meninggalkan lupa itu.
Ingatanku kembali pada waktu tiga tahun
lalu. Ketika kamu belum lupa cara bergerak seperti saat ini. Maya, datang ke
rumah bersama anaknya. Dia menangis karenamu. Seperti ingin mendapat perhatian
darinya, kamu berceloteh tentang berbagai hal yang sebenarnya tidak masuk akal.
Awalnya, Maya mendengarkan. Tapi, kemudian dia merasa bosan. Dia meninggalkanmu
begitu saja. Lalu kamu menangis. Aku ingat, saat itu aku langsung memarahinya.
Sayang, mungkin bukan kamu yang pelupa.
Tapi Maya. Dia telah lupa dengan kesabaranmu dalam menjawab setiap
pertanyaannya. Dia telah lupa dengan kesabaranmu yang selalu mendengarkan
ceritanya. Dia lupa bahwa dulu dia selalu bercerita tentang batu terbang, rumah
permen, ataupun tikus yang memakai mahkota. Dia telah lupa. Lupa dengan
kesabaran yang selalu kau ajarkan. Lupa dengan kasihmu yang tak pernah pamrih.
Begitupula dengan Reza. Anak kedua kita.
Dialah yang paling pelupa diantara orang yang lupa. Setelah dia tinggal
dirumahnya yang baru. Bersama istri dan bayinya yang mungil itu. Dia lupa jalan
menuju rumah kita. Terakhir kali dia datang ke rumah pada tahun lalu setelah
tiba-tiba kamu memukulnya. Dia benar-benar lupa bahwa dulu dialah yang selalu
memukul. Memukul maket yang aku buat. Memukul piring hingga tangannya berdarah.
Bahkan, memukul tanganmu hingga berwarna ungu. Dia telah lupa bahwa dialah si
pemukul itu. Setelah kamu memukulnya sekali, dia langsung pergi, dan enggan
untuk datang lagi.
Sayang, kamu terlihat cantik saat kamu tidur.
Kamu juga cantik saat bangun. Bahkan, saat kamu menjadi pemarah sekalipun,
kecantikkan itu tak pernah melupakanmu. Seandainya kaki dan tanganmu masih bisa
bergerak, mungkin aku masih bisa mendengarkan denting piano yang berbunyi merdu
berkat sentuhan jarimu.
Aduhai! Aku benar-benar merindukan suara
itu. Suara piano yang membuatmu semakin terlihat cantik. Ketika kamu mendengar
suaranya dari sentuhan jarimu, kamu tidak pernah lupa pada senyumanmu. Senyuman
yang tampak tulus berasal dari hatimu.
Sayang, menurut orang-orang, kamu adalah
keajaiban. Betapa rugi mereka karena baru menyadarinya sekarang. Setelah kamu
menjadi pelupa, aku membawamu ke sekolah musik. Kenapa? Karena sejak kamu
berjalan beriringan dengan lupa itu, kamu selalu mencemaskan sesuatu. Kamu
selalu duduk di depan televisi dengan murung. Hingga, aku menangkap gurat
senyum di wajahmu ketika televisi menayangkan permainan piano dari seorang
maestro muda yang luar biasa.
Aku membawamu ke sekolah musik. Senyumanmu
semakin mengembang ketika kamu menyentuhkan jari-jarimu yang jenjang pada tuts
piano yang berjajar. Betapa ajaibnya, satu tahun setelah itu, kamu benar-benar
mahir bermain piano. Sampai kamu merengek padaku ingin membawa piano itu ke
kamarmu.
Sayang, aku tak pernah kuasa untuk
menolak permintaanmu. Disaat orang lain begitu tersakiti dengan sel otak yang
perlahan mati, justru kamu bangkit dan mahir menggerakkan jari. Memang sulit
dimengerti. Tapi, itulah yang terjadi. Beberapa tahun kamu berhasil membuat
orang lain berdecak kagum dengan rangkaian nada merdu dari jarimu.
Aku, anak kita, bahkan dokter sekalipun
begitu terkejut dengan kehebatan jarimu. Meski aku sudah berkawan dengan
kehebatanmu sejak aku memulai hidup denganmu, tapi kehebatanmu kali ini
benar-benar di luar batas pikirku. Walaupun seringkali kamu lupa dengan
berbagai hal yang ada disekitarmu, tapi kamu tidak pernah membiarkan
jari-jarimu lupa pada rangkaian nada dari tuts piano yang menghasilkan dentingan
merdu.
Seringkali, aku harus membuat berbagai
catatan di dinding, poto, ruang tidur, ruang makan, hingga kamar mandi agar
kamu tak terlalu kesulitan karena lupa pada beberapa hal. Tapi, aku tak perlu
untuk membuat catatan pada pianomu. Aku rasa, piano itu sudah menyatu dengan
jiwamu.
Sayang, tahukah kamu? Aku sempat merasa
iri pada piano itu. Seandainya aku adalah dia. Aku adalah hal yang bisa membuatmu
tersenyum. Aku adalah hal yang mampu membuatmu merasa senang. Aku adalah hal
yang tidak bisa kamu lupakan. Aku akan merasa lebih barharga. Berharga sebagai
suamimu. Berharga karena kamu terus mengingatku.
Di tengah rasa iriku yang mulai menggebu,
aku menemukan catatan yang pernah kau buat puluhan tahun lalu. Catatan yang
memperlihatkan kehebatan dan ketulusan hatimu. Di catatan itu, aku menemukan
alasan. Alasan mengapa jarimu bisa bergerak menakjubkan. Kamu mampu memainkan
piano dengan wajah yang begitu riang meski kamu sering merasa kesakitan.
Ternyata semua itu karena cintamu. Kamu tahu bahwa ayahku adalah pemain piano
yang hebat. Aku selalu merindukan nada-nada yang datang dari sentuhan jarinya.
Tapi, aku harus menelan rasa kecewa setelah dia menjadi pelupa.
Sayangku, kamu benar-benar layak
dicintai. Rasa sakitmu bukanlah batas. Kematian sel otak tidak dapat membunuh
hatimu dengan telak. Perubahan mental padamu tak pernah bisa membuatku kesal.
Kau adalah istri terhebatku, ibu yang kuat bagi anak-anakmu, dan keajaiban bagi
para dokter yang mengobatimu.
Hari-hari terus berlalu. Diiringi
keajaiban diantara sakitmu. Dokter merasa takjub sekaligus khawatir dengan
kondisimu. Aku meyakinkan diri bahwa kekhawatiran dokter terlalu
berlebihan. Hingga kamu tiba-tiba ambruk
dan tak mampu menggerakkan badan. Termasuk jarimu yang ajaib itu. Bahkan
senyumanmu mulai kamu lupakan. Sekarang kamu terbaring di atas ranjang.
Ditemani olehku dan berbagai alat kesehatan.
Seorang wanita dan seorang pria datang
dengan tiba-tiba. Betapa senangnya karena aku melihat bibirmu mengulas senyum
tipis saat melihat mereka. Aku tak mengenali dua orang ini. Siapa mereka?
Apakah mereka saudara yang tak pernah aku tahu wajahnya? Atau mereka adalah
relawan yang memang sering datang untuk membagikan berbagai bantuan? Aku
benar-benar tidak tahu. Tapi, yang aku tahu ada gurat kekhawatiran pada wajah
mereka berdua.
Kedua orang itu menghampiriku. Aku tak
tahu apa yang mereka inginkan. Mereka berdua mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Siapa Kalian?” Tanyaku pada mereka.
Dua orang itu hanya berjalan semakin
mendekat tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa kesal karena telah
diabaikan.
“Siapa kalian?” Nadaku mulai meninggi.
Perempuan asing itu berhenti melangkah.
Dia hanya menangis, entah karena apa. Sedangkan si lelaki melangkah semakin mendekat.
Setelah dia berdiri tepat di sampingku, dia memegang tanganku dan dengan lembut
berusaha membuatku bangkit dari tempat duduk.
“Kalian siapa?” Nadaku semakin meninggi.
Pria yang berusaha membuatku berdiri
menjawab, “Ayah, ini aku Reza. Aku anakmu. Aku dan kak Maya sudah mencarimu
kemana-mana. Kenapa ayah duduk di sini? Ayo kita pulang! Sebentar lagi akan
hujan.”
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa
yang mereka katakan. Mereka mengatakan bahwa mereka anakku. Padahal, aku tak
pernah sekalipun melihat wajah keduanya. Betapa beraninya mereka berbohong.
Reza dan Maya sudah lupa padaku. Begitupula pada istriku. Pasti mereka orang
yang dibayar oleh kedua anakku untuk mengurusku dan istriku. Aku tidak mau.
Jika mereka memang benar anak yang baik, setidaknya mereka harus datang ke
sini. Mereka harus datang ke rumah sakit.
“Kalian bohong. Katakan pada Maya dan
Reza, jika memang benar mereka anakku, datang ke sini! Jenguk ibu di rumah
sakit. Jangan menggantikannya dengan orang lain”.
Si wanita semakin menangis. Sedang si
pria tetap berkaca-kaca. Dia kembali berusaha membuatku berdiri. Dengan sedikit
memaksa, dia berhasil membuatku berdiri dan bersandar di pundaknya.
“Ayah, ibu sudah meninggal satu bulan
yang lalu. Lihat! Ini makam ibu”. Si pria menunjuk ranjang di sampingku.
“Siapa bilang istriku meninggal? Lihat!
dia sedang tidur di atas ranjang,” kataku sambil menunjuk ke arah istriku yang tidur
terlentang.
“Ayah, ibu sudah tiada,” Wanita yang juga
memanggilku ayah meyakinkan.
Benarkah? Bukankah ini ranjang? Apakah
mereka berdua tidak bisa melihat? Mengapa mereka menyebut ranjang ini makam?
Mungkin mereka berdua orang gila. Atau, apakah aku yang menjadi pelupa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar