Rabu, 21 Mei 2014

PENDIDIKAN MENURUT TEORI KONFLIK

PENDIDIKAN MENURUT TEORI KONFLIK
Teori konflik (conflik theory) melihat tujuan pendidikan sebagai upaya menjaga kesenjangan sosial dan melestarikan kekuasaan orang-orang yang mendominasi masyarakat. Teori konflik untuk beberapa aspek melihat fungsi pendidikan sama dengan alur dianut oleh fungsionalis. Fungsionalis melihat pendidikan sebagai kontribusi yang menguntungkan masyarakat yang teratur, namun teori konflik melihat sistem pendidikan sebagai mengekalkan status quo dengan cara menumpulkan kelas bawah menjadi pekerja yang patuh.

Menurut teori konflik, sekolah memposisikan anak dari kelas pekerja menerima posisi mereka sebagai “kelas yang lebih rendah” dari anggota masyarakat. Teori konflik menyebut peran pendidikan dengan “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum). 
Teori konflik menunjuk pada beberapa faktor kunci dalam mempertahankan posisi siswa. Pertama, pajak property digunakan untuk mendanai sebagian besar sekolah. Karena itu, sekolah-sekolah di daerah yang kaya (misalnya, kabupaten) memiliki lebih banyak uang, daerah seperti ini umumnya dihuni oleh kulit putih atau berwarna. Mereka mampu membayar gaji yang lebih tinggi, menarik guru yang lebih baik, dan membeli buku-buku teks yang lebih baru dan lebih mengikuti perkembangan teknologi. Siswa yang bersekolah di sekolah tersebut kemudian mendapatkan keuntungan besar dalam mengakses perguruan tinggi terbaik dan berpeluang memasuki profesi dengan bayaran yang lebih tinggi. Mahasiswa yang berasal dari daerah kurang makmur tidak dapat menikmati keuntungan ini dan lebih kecil kemungkinannnya mengakses kuliah pada perguruan tinggi yang terbaik. Mereka  ini umumnya memasuki pendidikan kejuruan atau pelatihan teknis, dan umumnya berasal dari kelompok minoritas.
Teori konflik melihat pendidikan bukan sebagai kebutuhan social atau kesempatan, melainkan sebagai sarana ampuh untuk mempertahankan struktur kekuasaan  dan menciptakan tenaga kerja yang patuh bagi kaum kapitalis yang mendewakan kapitalisme.
Para penganut teori konflik  diantaranya: Bowles, Gintis, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich. Berikut pokok-pokok pemikiran mereka:
1. Paulo Freire
Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, gender, ras, dan sebagainya.
2. Bowles & Gintis
Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) adalah cara para ekonom politik di Amerika Serikat yang menganalisis tujuan persekolahan dalam masyarakat Amerika. Mereka berdua menulis buku berjudul Schooling in capitalist America. Teori Bowles dan Gintis mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi, berlaku baik bagi masyarakat Barat yang liberal maupun pada masyarakat blok Timur yang sosialistis. Meskipun demikian, analisis Gintis selanjutnya dialamatkan kepada sistem pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat. Prinsip pendidikan sebagai sarana untuk mengekalkan dominasi biasa disebut juga “reproduksi langsung” atau direct reproduction, yang dalam arti khusus berarti usaha melanjutkan dan mengekalkan sistem kemasyarakatan yang kapitalistis.
3. Louis Althuser
Analisis Althuser sejalan dengan analisis Bowles dan Gintis, yaitu bahwa pendidikan bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan produksi kapitalis berupa hubungan eksploitasi. Bedanya adalah bahwa Althuser memandang pendidikan sebagai perlengkapan Negara pada masyarakat kapitalis. Pada teori konflik yang tradisional terdapat apa yang dinamakan sistem ekonomi sebagai struktur dasar (infrastruktur) dan sistem-sistem kehidupan lain seperti politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, pemerintahan Negara sebagai superstruktur (suprastruktur).
4. Pierre Bourdieu
Bourdieu mengembangkan konsep pertimbangan budaya (cultural arbitraries) setiap masyarakat mempunyai pertimbangan budaya sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kemampuan logika.
5. Ivan Illich
Ivan Illich memiliki gambaran yang lebih ekstrim dalam karyanya Deschooling Society (1982) atau “Bebas dan Sekolah”. Dikatakan oleh Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukainya. Selanjutnya Illich menyarankan agar sistem persekolahan dibubarkan saja karena tidak efektif

DAFTAR PUSTAKA

Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik. Bandung : CV. Yasindo Multi Aspek
http://iya87.wordpress.com/2012/10/02/bab-4-teori-pendidikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar