Rabu, 21 Mei 2014

SATU Part 1

SATU

         “Apakah ayah marah padaku? ” bisik Nita dalam hati. Sambil memasak, sesekali dia melirik punggung ayahnya yang sedang duduk di meja makan. Ketika hendak mengangkat panci, tak sengaja tangannya menyentuh badan panci yang masih panas.

         “Auuww,” spontan Nita berteriak.

          Ayahnya tetap diam. Tak ada respon.

         “Apakah ayah ketiduran di meja makan? Atau dia benar-benar marah sehingga tak lagi peduli padaku? Kenapa dia tidak mendengar teriakkanku?” kembali Nita bertanya pada dirinya sendiri.

         Nita mematikan kompor yang masih menyala. Menuangkan sayur di panci ke mangkuk besar.  Lalu dia membawa mangkuk itu ke meja makan.  


       Nita dan ayahnya duduk berhadap-hadapan. Nita semakin resah dengan perilaku ayahnya. Mata ayahnya nampak sayu dan merah. Dia menatap jari tangan ayahnya yang terus mengetuk meja.

           “Ayah, ayo makan!”

           Ayahnya tetap diam. Tak memberi respon sedikitpun. Entah apa yang dia pikirkan. Matanya terarah pada Nita, namun seakan dia tidak melihat Nita di depannya. Jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk meja.

          “Ayah, ayo makan!” Nita memperkeras suaranya, berharap ayah merespon ajakannya.

           Jari ayah berhenti mengetuk.  Dia menyendok nasi dan sayur yang sudah Nita siapkan di piringnya. Tanpa bicara sepatahkatapun, dia memakan makanannya.

         Nita tak langsung memakan makanannya. Dia menatap ayahnya lama. Berbagai pertanyaan bergejolak di hatinya. Nita sedikit membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi, dia menggelengkan kepala, kemudian menutup kembali mulutnya. Dia kembali melihat ayahnya yang makan dalam diam. Telapak tangannya berkeringat. Kakinya gemetar. Tidak terasa air mata keluar dari sudut matanya. Dia menundukan kepala, berharap ayah tidak melihat tangisannya. Tapi, gejolak hati yang semakin kacau membuat dia tak mampu menahan tangisnya.

        Melihat anaknya yang menangis, Tuan Sardi seakan tersadar. Dia berhenti memakan makanannya. Menghampiri anaknya. Lalu, mengelus lembut kepala anaknya.

          “Nita...” Ucap Tuan Sardi pelan.

         Nita masih menunduk. Dia merasa takut. Takut ayahnya pergi. Takut ayahnya marah. Takut kehilangan rasa cinta dari sang ayah. Dia takut, dan rasa takut itu menyebabkan dia semakin menundukkan kepalanya.    
       Sambil terus mengelus kepala putrinya, Tuan Sardi berkata,” kamu harus menjadi orang yang kuat. Ayah sangat menyayangimu melebihi diri ayah sendiri. Apapun akan ayah lakukan untukmu. Ayah ingin selalu menjagamu. “

          Nita mengangkat kepalanya, “ayah tidak marah padaku?"

      Tuan Sardi tertawa mendengar pertanyaan putrinya. Tawa yang berat. Dia berusaha menutupi perasaanya sendiri. “Kenapa ayah harus marah?”

         “Aku telah bersalah. Aku telah...” Nita tak melanjutkan kata-katanya.

          Tuan Sardi menatap mata putrinya. Bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Setelah memejamkan mata beberapa detik, dia berkata,”ayah tidak marah. Sebenarnya semua itu salah ayah. Andai saja ayah berkata jujur. Andai saja ayah tidak menutup-nutupi kebenaran. Mungkin kekacauan ini tidak akan terjadi. Seharusnya, sejak awal ayah memberitahukan siapa ayah sebenarnya. Memberitahukan penyebab ibumu harus meninggalkan ayah. Memberitahukan kenapa kita harus hidup berpindah-pindah sehingga kau tidak mempunyai teman. Seharusnya ayah mengatakan semuanya. Tetapi, ayah malah menutupi kebenaran darimu. Ternyata kebohongan yang ayah lakukan hanya menambah penderitaanmu. Maafkan ayah.”

***
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar